Gempa bumi berkekuatan 7,0 SR mengguncang Pulau Lombok, dan Sumbawa, Minggu pukul 18.46 WITA. Pusat gempa terletak pada 8.3 Lintang Selatan, 116.48 Bujur Timur Kabupaten Lombok Utara dengan kedalaman 15 kilometer. Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (Direktorat PAUD) menaruh perhatian besar terhadap bencana yang terjadi. Hingga saat ini, pemerintah dan semua pihak terkait masih melakukan evakuasi korban dari Lombok. Dalam Setiap bencana, anak-anak dan kaum perempuan merupakan korban paling membetuhkan perhatian. Sejumlah bantuan dipersiapkan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen PAUD Dikmas).
Bersama dengan Palang Merah Indonesia (PMI), Dirjen PAUD dan Dikmas melakukan trauma healing kepada korban gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkana informasi dari PMI menyebutkan, masyarakat terdampak di wilayah Kecamatan Sembalun dan Sambelia Kabupaten Lombok Timur masih merasakan trauma. Dampaknya sebagian warga memilih tidur di dalam tenda.
Menurut psikolog anak dan keluarga, Ratih Zulhaqqi, trauma healing bertujuan untuk mengantisipasi post-traumatic syndrome disorder (PTSD). PTSD adalah gangguan stres pascatrauma. Trauma healing untuk anak, kata Ratih, cenderung agak sulit sebab anak seringkali sulit bercerita perihal kecemasannya seperti orang dewasa. Ia berkata, bermain menjadi metode trauma healing yang tepat buat anak.
"(Kalau bermain), mereka enggak merasa sedang diobati, enggak merasakan situasi yang mencekam. Dan yang mendampingi tidak boleh selalu mengungkit cerita (tentang gempa)," katanya.
Indonesia menjadi daerah rawan bencana karena beberapa alasan. Diantaranya karena disebabkan oleh faktor alam dan iklim yang ada di Indonesia. Indonesia berdiri diatas pertemuan lempeng-lempeng tektonik. Akibatnya negeri ini berada di atas jalur gempa.
Selain rentan dengan bencana gempa bumi, saat ini Indonesia tercatat memiliki 127 gunung berapi aktif. Hal inilah yang membuat Indonesia menjadi bagian dari Cincin Api Pasifik. Iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi sehingga memudahkan terjadinya pelapukan juga menyebabkan bencana alam seperti longsor dan banjir bandang. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama tahun 2017 telah terjadi 654 bencana di seluruh Indonesia.
Bencana alam selain menelan korban jiwa, juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur, pemukiman, bangunan-bangunan pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial dan ekonomi serta mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, termasuk kondisi psikologis dan tingkat kesejahteraan.
Sekretaris Dirjen PAUD dan Dikmas, Dr Wartanto menyebutkan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap bencana alam adalah anak-anak karena secara fisik dan mental masih dalam masa pertumbuhan dan masih tergantung dengan orang dewasa.
“Mengalami kejadian traumatis dan mengerikan akibat bencana dapat mengakibatkan stress dan trauma mendalam bagi anak-anak bahkan orang dewasa sekalipun. Pengalaman trauma yang dialami anak apabila tidak segera diatasi maka akan berdampak buruk bagi perkembangan mental dan sosial anak hingga dewasa. Semoga dengan program trauma healing anak-anak yang berada di tempat pengungsian dan daerah bencana psikologisnya cepat dipulihkan,” katanya.
Tidak mudah memulihkan kesehatan psikis ataupun mental anak-anak korban bencana. Perlu waktu panjang serta metode yang tepat untuk menangani mereka. Namun, yang masih menjadi polemik adalah penanganan anak-anak korban bencana dari trauma berkepanjangan masih diwarnai dengan kepentingan politik dan ego masing-masing lembaga atau organisasi yang menangani.
Bahkan tak jarang ada lembaga atau organisasi mengklaim hanya merekalah yang boleh menanganinya. Seharusnya penanganan anak-anak korban bencana dilakukan tanpa batas dan diberi kebebasan seluas-luasnya. Dampak trauma mental yang dialami anak-anak lebih besar dibandingkan dengan dampak secara fisik. Anak-anak tidak saja kehilangan orangtua, tetapi juga kehilangan pendidikan, teman, saudara, keceriaan, kehilangan lingkungan tempatnya bermain dan yang paling mencemaskan adalah kehilangan masa depan mereka.
Salah satu cara untuk menghilangkan traumatis pada anak-anak korban bencana adalah dengan cara trauma healing. Trauma healing sangatlah penting bagi anak-anak yang mengalami peristiwa mengerikan itu. Trauma healing sendiri dapat dilakukan pada anak-anak dan orang dewasa. Tentunya dengan cara yang berbeda.
Program Trauma Healing
1. Bentuk Kelompok Bermain
Terhadap anak-anak, program trauma healing dapat dilakukan dengan membangun kelompok bermain atau kegiatan-kegiatan bermain, belajar, membaca, melukis dan kegiatan seni lainnya. Dengan cara seperti ini maka anak-anak akan dapat mengekspresikan emosi yang ada di dalam dirinya. Pada orang dewasa, trauma healing dilakukan dengan cara konseling dan berbagi cerita.
2. Ciptakan Lingkungan Kondusif
Dalam konteks trauma healing, lingkungan sosial menjadi salah satu faktor dalam membantu seseorang dari trauma. Dukungan dan dorongan sangat dibutuhkan dan hal ini akan lahir ketika seeorang mampu membangun komunikasi sosial yang pada akhirnya akan menghilangkan perasaan sepi, terasing, terisolasi dan sebagainya. Selain itu pula, proses pemuihan trauma juga tergantung pada faktor internal individu sendiri yang berupa persepsi dan keyakinan.
3. Dilakukan Secara Teratur
Trauma healing sendiri diutamakan pada anak-anak dan lansia, yang biasanya mengalami trauma paling kuat, baik stres maupun depresi. Trauma healing seharusnya dilakukan secara teratur agar dapat membangun kembali mental para korban. Terhadap anak-anak, misalnya, program trauma healing dapat dilakukan dengan membangun kelompok bermain yang diikutkan ke dalam kelas, atau kegiatan-kegiatan bermain, belajar, membaca buku, kegiatan kesenian—seperti tari, musik, dan melukis—bahkan kegiatan beragama.
4. Tujuan Trauma Healing
Trauma healing yang diberikan pada anak-anak bertujuan agar mereka mampu melupakan kejadian-kejadian yang terjadi pada masa lampau, sehingga membuat mereka lebih siap apabila bencana datang kembali. Kegiatan-kegiatan trauma healing yang diberikan pada anak-anak berbeda pada orang dewasa. Pada orang dewasa, program yang lebih tepat berupa konseling.
5. Tata Ulang Lingkungan
Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan kembali wilayah atau lingkungan, serta penempatan korban di wilayah baru. Dengan hal tersebut, ingatan tentang bencana di benak mereka bisa terhapus, dan kehidupan baru bisa dimulai.