Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (penyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu (Q.S.An-Nisa’4:58)
Dalam berbagai survai mengenai negara terkorup di dunia, Indonesia selalu menempati peringkat atas. Hal ini berlangsung bertahun-tahun tanpa ada perbaikan yang berarti. Upaya yang telah dilakukan oleh semua era pemerintahan tidak mampu mematahkan keyakinan bahwa negeri ini memang negeri korup. Pembentukan bermacam-macam institusi anti-korupsi pun telah dilakukan. Hasilnya, koruptor bergeming dari singgasananya dan tetap menikmati imunitas atas tindakannya.
Boleh jadi berdasarkan pertimbangan tersebut, akhir-akhir ini muncul pemikiran pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah. Diyakini bahwa dengan memberikan pelajaran anti-korupsi, orang-orang yang nantinya akan duduk di tampuk kepemimpinan pemerintahan telah memiliki bekal nilai-nilai guna menangkal korupsi. Memang, semua koruptor adalah orang yang telah mengenyam pendidikan di sekolah formal. Dan, selama ini sekolah tidak memprogramkan dalam kurikulumnya pelajaran anti-korupsi. Sehingga, wajar saja bila para lulusan sekolah memiliki kepandaian dalam disiplin-disiplin ilmu dan keterampilan, tetapi bertindak korup ketika berkesempatan. Demikianlah, kira-kira jalan pikiran pihak yang menganggap pelajaran anti-korupsi penting dicantumkan di dalam kurikulum sekolah.
Hanya saja perlu ditekankan bahwa pendidikan anti-korupsi berkenaan dengan pendidikan nilai. Justru di sini terletak inti permasalahan. Pendidikan nilai memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan. Kalau dalam pendidikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan relatif lebih sedikit melibatkan perasaan dan karakteristik individu serta dimensi interaksi sosial dalam menerapkan apa yang telah dipelajari, maka pendidikan nilai sarat dengan perasaan dan karakteristik individu serta dimensi interaksi sosial ketika sang pembelajar menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Tidak mengherankan jika pengajarannya lebih rumit daripada mengajarkan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan. Terbukti bahwa sejauh ini manajemen pendidikan dan teknologi pembelajaran mencapai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi pada pembelajaran ilmu, pengetahuan, dan keterampilan ketimbang pembelajaran nilai.
Sejarah di Indonesia pun telah menyatakan terjadinya kegagalan manakala nilai-nilai tertentu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Sebut saja pelajaran-pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), dan Pendidikan Agama (PA) di sekolah. Demikian halnya dengan pelajaran-pelajaran cabang ilmu hukum di Jurusan atau Fakultas Hukum di perguruan tinggi. Aspek kegagalannya terutama pada ranah afeksi dan praksis. Mestinya bila asumsi setiap masalah nilai dapat diatasi dengan memasukkan solusi di dalam kurikulum sekolah, maka PMP telah mewujudkan masyarakat yang bermoral, PSPB telah menghasilkan bangsa yang menghargai sejarah perjuangan dan mencintai bangsa dan negara sendiri, PA telah menumbuh-kembangkan masyarakat yang alim hidup di dunia dan akhirat. Namun apa lacur, yang terjadi adalah masyarakat yang, bahkan, oleh anggotanya sendiri disumpah-serapahi dengan kata-kata yang paling kotor yang pernah ada di dalam kamus bahasa—bangsa korup, bangsa biadab, masyarakat preman, dan lain sebagainya.
Namun, bukan berarti materi-materi pendidikan nilai tidak perlu diajarkan di sekolah. Hanya saja pelajarannya bukan melalui kurikulum formal yang tercantum secara verbal. Karena, verbalisme telah membudaya dalam kehidupan kita. Verbalisme adalah sikap dan perilaku mengutamakan kata-kata daripada perbuatan, terutama ketika menyikapi masalah-masalah genting dan mendesak untuk dipecahkan. Pendukung verbalisme amat pintar merangkai kata-kata buaian kepada orang lain. Mereka piawai secara kognitif menjabarkan solusi yang canggih atas masalah yang timbul, namun kedodoran saat mengimplementasikannya.
Lalu bagaimana cara melakukan transformasi nilai kepada generasi muda (siswa sekolah) agar kehidupan masyarakat menjadi (lebih) baik, terutama masyarakat yang bersih dari korupsi? Ada beberapa reka-daya terhadap komunitas sekolah agar anti-korupsi. Pertama, pereka-dayaan budaya sekolah yang mengedepankan nilai anti-korupsi dengan mempertimbangkan konsistensi aturan sekolah dengan perilaku melalui mekanisme modeling, reward and punishment, dan keterlibatan seluruh sivitas sekolah pada kegiatan-kegiatan sekolah. Kedua, internalisasi nilai anti-korupsi dilakukan secara melekat (embedded) yang terus-menerus dikawal oleh para guru. Peran guru dalam kegiatan ini adalah sebagai mentor. Guru setiap saat membimbing, mengawasi, dan membetulkan perilaku yang menyimpang dari jalan lurus anti-korupsi. Ketiga, evaluasi dilakukan secara periodik terhadap program-program internalisasi nilai anti-korupsi. Gunanya memperbaiki reka-daya yang telah dilaksanakan. Jadi, sikap dan perilaku anti-korupsi tidak perlu mengulang sejarah gagalnya pendidikan nilai karena pencantumannya secara formal di dalam kurikulum.
Boleh jadi berdasarkan pertimbangan tersebut, akhir-akhir ini muncul pemikiran pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah. Diyakini bahwa dengan memberikan pelajaran anti-korupsi, orang-orang yang nantinya akan duduk di tampuk kepemimpinan pemerintahan telah memiliki bekal nilai-nilai guna menangkal korupsi. Memang, semua koruptor adalah orang yang telah mengenyam pendidikan di sekolah formal. Dan, selama ini sekolah tidak memprogramkan dalam kurikulumnya pelajaran anti-korupsi. Sehingga, wajar saja bila para lulusan sekolah memiliki kepandaian dalam disiplin-disiplin ilmu dan keterampilan, tetapi bertindak korup ketika berkesempatan. Demikianlah, kira-kira jalan pikiran pihak yang menganggap pelajaran anti-korupsi penting dicantumkan di dalam kurikulum sekolah.
Hanya saja perlu ditekankan bahwa pendidikan anti-korupsi berkenaan dengan pendidikan nilai. Justru di sini terletak inti permasalahan. Pendidikan nilai memiliki karakteristik yang berbeda dengan pendidikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan. Kalau dalam pendidikan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan relatif lebih sedikit melibatkan perasaan dan karakteristik individu serta dimensi interaksi sosial dalam menerapkan apa yang telah dipelajari, maka pendidikan nilai sarat dengan perasaan dan karakteristik individu serta dimensi interaksi sosial ketika sang pembelajar menerapkan apa yang telah dipelajarinya. Tidak mengherankan jika pengajarannya lebih rumit daripada mengajarkan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan. Terbukti bahwa sejauh ini manajemen pendidikan dan teknologi pembelajaran mencapai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi pada pembelajaran ilmu, pengetahuan, dan keterampilan ketimbang pembelajaran nilai.
Sejarah di Indonesia pun telah menyatakan terjadinya kegagalan manakala nilai-nilai tertentu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Sebut saja pelajaran-pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), dan Pendidikan Agama (PA) di sekolah. Demikian halnya dengan pelajaran-pelajaran cabang ilmu hukum di Jurusan atau Fakultas Hukum di perguruan tinggi. Aspek kegagalannya terutama pada ranah afeksi dan praksis. Mestinya bila asumsi setiap masalah nilai dapat diatasi dengan memasukkan solusi di dalam kurikulum sekolah, maka PMP telah mewujudkan masyarakat yang bermoral, PSPB telah menghasilkan bangsa yang menghargai sejarah perjuangan dan mencintai bangsa dan negara sendiri, PA telah menumbuh-kembangkan masyarakat yang alim hidup di dunia dan akhirat. Namun apa lacur, yang terjadi adalah masyarakat yang, bahkan, oleh anggotanya sendiri disumpah-serapahi dengan kata-kata yang paling kotor yang pernah ada di dalam kamus bahasa—bangsa korup, bangsa biadab, masyarakat preman, dan lain sebagainya.
Namun, bukan berarti materi-materi pendidikan nilai tidak perlu diajarkan di sekolah. Hanya saja pelajarannya bukan melalui kurikulum formal yang tercantum secara verbal. Karena, verbalisme telah membudaya dalam kehidupan kita. Verbalisme adalah sikap dan perilaku mengutamakan kata-kata daripada perbuatan, terutama ketika menyikapi masalah-masalah genting dan mendesak untuk dipecahkan. Pendukung verbalisme amat pintar merangkai kata-kata buaian kepada orang lain. Mereka piawai secara kognitif menjabarkan solusi yang canggih atas masalah yang timbul, namun kedodoran saat mengimplementasikannya.
Lalu bagaimana cara melakukan transformasi nilai kepada generasi muda (siswa sekolah) agar kehidupan masyarakat menjadi (lebih) baik, terutama masyarakat yang bersih dari korupsi? Ada beberapa reka-daya terhadap komunitas sekolah agar anti-korupsi. Pertama, pereka-dayaan budaya sekolah yang mengedepankan nilai anti-korupsi dengan mempertimbangkan konsistensi aturan sekolah dengan perilaku melalui mekanisme modeling, reward and punishment, dan keterlibatan seluruh sivitas sekolah pada kegiatan-kegiatan sekolah. Kedua, internalisasi nilai anti-korupsi dilakukan secara melekat (embedded) yang terus-menerus dikawal oleh para guru. Peran guru dalam kegiatan ini adalah sebagai mentor. Guru setiap saat membimbing, mengawasi, dan membetulkan perilaku yang menyimpang dari jalan lurus anti-korupsi. Ketiga, evaluasi dilakukan secara periodik terhadap program-program internalisasi nilai anti-korupsi. Gunanya memperbaiki reka-daya yang telah dilaksanakan. Jadi, sikap dan perilaku anti-korupsi tidak perlu mengulang sejarah gagalnya pendidikan nilai karena pencantumannya secara formal di dalam kurikulum.
sumber : http://www.pendidikan-diy.go.id/