Hingar
bingar ujian nasional (Unas) tahun ini mulai redup setelah diumumkannya
hasil unas mulai tingkat sekolah dasar hingga tingkat menengah atas.
Kini kita menyongsong tahun ajaran baru yang harus lebih baik dari tahun
sebelumnya. Depdiknas dengan kepercayaan dirinya tetap menjadikan Unas
sebagai standar kelulusan siswa dan pemicu peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia. Setiap tahun
Depdiknas tanpa ragu menaikkan standar nilai kelulusan Unas. Standar
mininal nilai Unas 2008 adalah 5,25, naik 0,25 dari tahun 2007. Menurut
Mendiknas Bambang Sudibyo kemungkinan akan dinaikkan menjadi 5,5 pada
tahun 2009. Kebijakan ini bukan tanpa kontroversi, pro dan kontra terus
mengisi ruang publik. Banyak yang menganggap kebijakan menjadikan Unas
sebagai standar kelulusan siswa adalah pengebirian bakat dan kemampuan
siswa yang beragam.
Pendidikan Sepanjang Hayat Menuju Generasi Super
Pendidikan sepanjang hayat. Sebuah jargon yang tidak bisa dijadikan hanya sebagai pemanis dalam beretorika. Sistem pendidikan di Indonesia yang telah terbungkus oleh pemikiran konservatif dan usang semakin mengkerdilkan makna pendidikan sepanjang hayat dan tak mampu menciptakan generasi penerus yang memiliki kemampuan ‘super’. Kemampuan super ini bukan berarti sebuah kekuatan fisik layaknya Superman, atau kekuatan magis dan supranatural seperti Hary Potter. Tapi manusia super di sini adalah manusia yang memiliki kecerdasan, kearifan dalam hidup, dan menjadikan ilmu yang dimilikinya sebagai ladang amal. Manusia super adalah manusia yang menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu bermanfaat untuk orang lain. Ia tak pernah lelah menuntut ilmu dan tak perhitungan memberikan ilmunya untuk orang lain. Semua yang didapat oleh seorang manusia super itu melalui proses belajar sepanjang hayat secara wajar tanpa kekuatan magis yang membuat samar antara tauhid dan kemusyrikan.
Selama ini, terutama sebelum dibentukya Direktorat PAUD Depdiknas dan keluarnya Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, sadar atau tidak sistem pendidikan kita lebih bekutat pada pendidikan formal yang berjenjang. Sehingga Pendidikan Anak sejak Usia Dini (PAUD) terlupakan. Taman Kanak kanak (TK/ RA) adalah PAUD formal, namun tidak semua anak dapat merasakan pendidikan di TK/ RA, dan usia mereka pun yang telah mencapai 5-6 tahun. Sementara mereka yang berusia 0- 6 tahun banyak yang tidak mendapatkan pendidikan usia dini secara baik dan benar. Menurut data Depdiknas pada pada akhir tahun 2007 jumlah anak yang terlayani PAUD formal dan non formal sebanyak 28 juta anak atau 48 persen. Kerja keras Direktorat PAUD Depdiknas memang sudah terlihat, karena pada tahun 2004 saja, dari 28,2 juta anak usia 0-6 tahun baru 28,3 % yang terlayani oleh PAUD formal maupun non formal. Namun usaha keras tetap harus dilakukan karena masih lebih dari 50 persen anak belum terlayani PAUD.
Pendidikan sepanjang hayat. Sebuah jargon yang tidak bisa dijadikan hanya sebagai pemanis dalam beretorika. Sistem pendidikan di Indonesia yang telah terbungkus oleh pemikiran konservatif dan usang semakin mengkerdilkan makna pendidikan sepanjang hayat dan tak mampu menciptakan generasi penerus yang memiliki kemampuan ‘super’. Kemampuan super ini bukan berarti sebuah kekuatan fisik layaknya Superman, atau kekuatan magis dan supranatural seperti Hary Potter. Tapi manusia super di sini adalah manusia yang memiliki kecerdasan, kearifan dalam hidup, dan menjadikan ilmu yang dimilikinya sebagai ladang amal. Manusia super adalah manusia yang menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu bermanfaat untuk orang lain. Ia tak pernah lelah menuntut ilmu dan tak perhitungan memberikan ilmunya untuk orang lain. Semua yang didapat oleh seorang manusia super itu melalui proses belajar sepanjang hayat secara wajar tanpa kekuatan magis yang membuat samar antara tauhid dan kemusyrikan.
Selama ini, terutama sebelum dibentukya Direktorat PAUD Depdiknas dan keluarnya Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, sadar atau tidak sistem pendidikan kita lebih bekutat pada pendidikan formal yang berjenjang. Sehingga Pendidikan Anak sejak Usia Dini (PAUD) terlupakan. Taman Kanak kanak (TK/ RA) adalah PAUD formal, namun tidak semua anak dapat merasakan pendidikan di TK/ RA, dan usia mereka pun yang telah mencapai 5-6 tahun. Sementara mereka yang berusia 0- 6 tahun banyak yang tidak mendapatkan pendidikan usia dini secara baik dan benar. Menurut data Depdiknas pada pada akhir tahun 2007 jumlah anak yang terlayani PAUD formal dan non formal sebanyak 28 juta anak atau 48 persen. Kerja keras Direktorat PAUD Depdiknas memang sudah terlihat, karena pada tahun 2004 saja, dari 28,2 juta anak usia 0-6 tahun baru 28,3 % yang terlayani oleh PAUD formal maupun non formal. Namun usaha keras tetap harus dilakukan karena masih lebih dari 50 persen anak belum terlayani PAUD.
Keluarga Sebagai Pilar Utama PAUD Informal
Ujung tombak pendidikan anak usia dini adalah keluarga, terutama peran kedua orang tua. Orang tua terutama ibu menjadi pendidik utama dan pemberi pondasi pendidikan anak. Undang Undang Sisdiknas mengatakan pendidikan anak usia dini sebagai suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dari definisi ini tentunya sangat baik jika PAUD langsung dilakukan oleh orang tua sendiri. Karena orang tualah yang lebih tahu siapa dan bagaimana anaknya untuk diarahkan dan dibimbing sesuai kemampuan dan kepribadiannya yang khas. Alangkah lebih baik lagi jika orang tua melakukannya sejak anak dalam kandungan. Seperti memperdengarkan ayat suci atau musik yang dapat memacu kecerdasan anak sejak dalam kandungan.
Namun yang menjadi permasalaan di tengah masyarakat saat ini tidak semua orang tua mampu mengambil peran penuh dalam mendidik anaknya sejak dini. Ada yang memiliki banyak waktu namun bekal ilmu dan pendidikan yang dimiliki orang tua sangat terbatas sehingga tidak dapat mendidik secara baik dan benar. Di lain pihak banyak mereka yang berpendidikan bagus namun tidak memiliki cukup waktu untuk mendidik anak secara optimal. Taman kanak kanak (TK) sebagai PAUD formal memang dapat mengakomodir, namun seperti penulis sebutkan sebelumnya TK hanya menyerap anak usia 5-6 tahun, dan tidak semua orang tua mampu memasukkan anaknya ke TK.
Dari permasalan ini tentunya sangat sulit bagi kita untuk menciptakan manusia-manusia super yang penulis maksud di atas, karena tidak berkesinambungannya pendidikan anak di usia dini. Padahal hasil penelitian di bidang neurologi membuktikan bahwa perkembangan intelektual telah mencapai 50 persen ketika anak berusia empat tahun, 80 persen setelah berusia delapan tahun, dan genap 100 persen setelah berusia 18 tahun. Hasil kajian ilmiah para ahli juga menunjukkan usia 0-6 tahun merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan kualitas anak dan generasi selanjutnya. Oleh karena itu masa emas yang hanya seumur hidup sekali ini jangan sampai terlewatkan. Tentunya menjadi pekerjaan rumah Depdiknas untuk terus mensosialisasikan pentingnya pendidikan anak usia dini.
Pengembangan PAUD Non Formal
Misi Direktorat PAUD Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas dalam meningkatkan perluasan dan pemerataan akses layanan PAUD (melalui penyelenggaan PAUD yang mudah dan murah, tetapi bermutu) harus kita dukung.
Upaya yang telah dilakukan telah banyak mendapat dukungan dari organisasi massa perempuan dan Posyandu cukup efektif membangun PAUD yang mudah, murah, dan bermutu. Jumlah anak yang terlayani PAUD Non Formal yang terdiri dari Tempat Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), Satuan PAUD sejenis atau SPS, dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) pada tahun 2004 sebanyak 2,9 juta. Dua tahun kemudian meningkat menjadi 8,3 juta. Hal ini tentunya sebuah grafik yang menggembirakan. Namun jika tidak ada inovasi baru, perkembangan PAUD akan stagnan sebelum mencapai target yang ditentukan Direktorat PAUD sebesar 9,9 juta anak terlayani PAUD non formal di tahun 2009. Menurut penulis jumlah 9,9 juta anak yang ditargetkan masih relatif kecil dibanding jumlah anak 0-6 tahun di Indonesia yang tahun 2006 saja mencapai 28,3 juta anak, apalagi di tahun 2009 nanti jika program KB tidak berjalan baik. Oleh karena itu target minimal tersebut jangan sampai tidak tercapai.
Salah satu cara yang menurut penulis juga perlu digecarkan selain melalui organisasi ibu seperti Aisiyah Muhammadiyah, Muslimat NU, PKK, dan Posyandu, yaitu pendekatan terhadap para tokoh masyarakat dan mereka yang memiliki pengaruh cukup kuat di tengah masyarakat. Kepedulian terhadap pendidikan anak usia dini memang lebih banyak didominasi oleh kaum ibu, namun kaum bapak sudah semestinya juga ditingkatkan, terutama mereka yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat.
Misi Direktorat PAUD Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas dalam meningkatkan perluasan dan pemerataan akses layanan PAUD (melalui penyelenggaan PAUD yang mudah dan murah, tetapi bermutu) harus kita dukung.
Upaya yang telah dilakukan telah banyak mendapat dukungan dari organisasi massa perempuan dan Posyandu cukup efektif membangun PAUD yang mudah, murah, dan bermutu. Jumlah anak yang terlayani PAUD Non Formal yang terdiri dari Tempat Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), Satuan PAUD sejenis atau SPS, dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) pada tahun 2004 sebanyak 2,9 juta. Dua tahun kemudian meningkat menjadi 8,3 juta. Hal ini tentunya sebuah grafik yang menggembirakan. Namun jika tidak ada inovasi baru, perkembangan PAUD akan stagnan sebelum mencapai target yang ditentukan Direktorat PAUD sebesar 9,9 juta anak terlayani PAUD non formal di tahun 2009. Menurut penulis jumlah 9,9 juta anak yang ditargetkan masih relatif kecil dibanding jumlah anak 0-6 tahun di Indonesia yang tahun 2006 saja mencapai 28,3 juta anak, apalagi di tahun 2009 nanti jika program KB tidak berjalan baik. Oleh karena itu target minimal tersebut jangan sampai tidak tercapai.
Salah satu cara yang menurut penulis juga perlu digecarkan selain melalui organisasi ibu seperti Aisiyah Muhammadiyah, Muslimat NU, PKK, dan Posyandu, yaitu pendekatan terhadap para tokoh masyarakat dan mereka yang memiliki pengaruh cukup kuat di tengah masyarakat. Kepedulian terhadap pendidikan anak usia dini memang lebih banyak didominasi oleh kaum ibu, namun kaum bapak sudah semestinya juga ditingkatkan, terutama mereka yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat.